Rabu, 12 Agustus 2009

manaqib habib usman bin yahya

Di Jakarta pada pertengahan abad 18 muncul seorang habaib karismatik. Ia adalah Habib Utsman bin Yahya, yang pernah menjadi mufti Batavia di zaman Belanda,

Para habib, khususnya ulamanya, sejak ratusan tahun punya hubungan akrab dengan para ulama, kiai, santri, dan ustadz asli Betawi. Sejak datang dari Hadramaut pada abad ke-18, dan puncaknya pada akhir abad ke-19, mereka mendapat tempat yang baik di hati para ulama Betawi. Bahkan ada yang mengatakan, kehadiran mereka ibarat siraman darah segar bagi perkembangan Islam di tanah air.

Salah satu saksi bisu atas kehadiran para ulama habaib itu ialah Kampung Pekojan, tidak jauh dari China Town di Glodok, Jakarta Barat. Sampai 1950-an, mayoritas warga Pekojan terdiri dari keturunan Arab. Tapi belakangan, juga sampai saat ini, keturunan Arab di Pekojan menjadi minoritas, sebab sebagian besar hijrah ke kawasan selatan, seperti Tanah Abang, Jati Petamburan, Jatinegara, dan kini Condet.

Jejak-jejak peninggalan Islam masih bisa kita temukan di sana. Lihatlah misalnya Masjid An-Nawir (1760) yang lebih dikenal dengan Masjid Pekojan. Di belakang masjid terdapat makam pendirinya, Syarifah Fatmah. Pada akhir abad ke-19, masjid tersebut diperluas oleh Sayyid Abdullah bin Husein Alaydrus, tuan tanah yang namanya diabadikan sebagai nama jalan, yaitu Jalan Alaydrus, tempat ia dulu pernah bermukim.

Di masjid inilah, Habib Ustman bin Yahya, mufti Batavia, mengajar dan memberikan fatwa sebelum pindah ke Jati Petamburan. Ia memang dilahirkan di Pekojan. Ayahnya bernama Habib Abdullah bin Yahya. Ia kemudian menjadi menantu seorang ulama Mesir yang juga bermukim di Pekojan, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Ahmad Al-Misri. Ia diangkat sebagai mufti setelah selama belasan tahun belajar ilmu agama di 22 negara. Sebagai pengarang kitab yang produktif, karyanya lebih dari 100 kitab, tebal maupun tipis.

Beberapa kitabnya ada yang dikoleksi oleh Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta Pusat. Kitabnya yang populer antara lain Sifat Duapuluh dan Asyhadul Anam. Habib Ustman adalah guru Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi (Habib Kwitang), ulama besar yang 80 tahun silam mendirikan majelis taklim di kediamannya, yang kemudian sangat terkenal.

Habib Usman bin Abdullah Bin Yahya lahir di Pekojan, Jakarta tepatnya pada tanggal 17 Rabiul Awal 1238 H (1822 M). Ayahnya bernama Habib Abdullah bin Agil bin Umar Bin Yahya. Sedangkan ibunya adalah Asy-Syaikhah Aminah binti Abdurrahman Al-Mishri. Pada usia tiga tahun, ketika ayahnya kembali ke Mekah, ia diasuh oleh kakeknya, Abdurrahman al-Misri, yang mengajarinya dasar-dasar ilmu agama, bahasa Arab dan ilmu falak.

Pada usia 18 tahun, setelah kakeknya meninggal, ia menunaikan ibadah haji dan berjumpa dengan ayah serta familinya. Disana, selama tujuh tahun, ia belajar agama kepada ayahandanya dan kepada Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, seorang mufti Makkah.

Pada tahun 1848 M beliau kemudian meneruskan perjalanan beliau untuk menuntut ilmu. Berangkatlah beliau ke Hadramaut. Disana beliau menuntut ilmu kepada Habib Abdullah bin Husin Bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar Bin Yahya, Habib Alwi bin Saggaf Al-Jufri, Habib Hasan bin Sholeh Al-Bahar.

Selepas dari menuntut ilmu di Hadramaut, keinginannya untuk selalu menuntut ilmu seakan tak pernah pupus dan luntur. Habib Usman kemudian meneruskan perjalanannya ke Mesir dan belajar di Kairo selama 8 bulan. Dari Kairo lalu meneruskan perjalanan ke Tunisia dan berguru kepada Asy-Syaikh Abdullah Basya. Dilanjutkan ke Aljazair dan berguru kepada Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Maghrabi. Ia juga melakukan perjalanan ke Istambul, Persia, dan Syria. Setelah itu kemudian kembali ke Hadramaut. Dalam perjalanannya ke beberapa negara tersebut, beliau banyak mendapatkan berbagai macam ilmu, seperti Fikih, Tasawuf, Tarikh, ilmu Falak, dan lain-lain.

Pada tahun 1862 H (1279 M), ia kembali ke Batavia (Jakarta) dan menetap disana. Di Batavia ini, ia diangkat menjadi mufti menggantikan Syeikh Abdul Ghani, mufti sebelumnya yang telah lanjut usia. Pada tahun 1899-1914 diangkat sebagai Adviseur Honorer untuk urusan Arab di kantor Voor Inlandsche Zaken.

Sebagai seorang ulama yang mumpuni, ia sangat produktif mengarang banyak buku. Buku-buku yang ia karang sebagian besar tidaklah tebal, akan tetapi banyak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam masyarakat muslim tentang syariat Islam. Sebagai ulama, ia kenal sangat kritis dalam menyikapi persoalan-persoalan yang berkembang di tengah masyarakat.

Ketika ia menyatakan sikapnya yang tidak setuju, ia selalu melampiaskannya lewat buku. Ia sangat produktif, karyanya puluhan. Pandangannya yang sangat tegas-keras dalam soal fikih mendorong Sayid Usman terlibat dalam berbagai polemik dengan sesama ulama, bahkan dengan pemerintah Hindia Belanda.

Polemiknya yang paling keras, antara lain, dengan Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, juga dengan beberapa ulama Betawi. Salah satu hal yang ia polemikkan dengan Syeikh Ahmad Khatib ialah penentuan arah kiblat masjid di Palembang. Ia mengutip kitab Tahrir al-Aqwadillah karya Syeikh Arsyad al-Banjari dari Banjarmasin sebagai jawaban atas penentuan arah kiblat.

Sebagian besar karya Sayid Usman berbahasa Melayu dan Arab, baik berupa selebaran maupun brosur, rata-rata sekitar 20 halaman. Umumnya berisi jawaban atas berbagai peroalan umat pada saat itu. Pada 1873 ia menulis kitab Taudzibu al-Adillah ‘ala Syuruthi Syuhudi al-Ahillah. Buku ini membahas, dan memberikan jalan keluar, mengenai perbedaan pendapat di kalangan masyarakat Islam Jakarta waktu itu mengenai hari pertama bulan Ramadhan.

Pada 1881 ia menulis kitab Al-Qawaninu as-Syari’ah li ahli al-Majalisi al-Hukmiyati wal ‘Iftiayati. Buku berbahasa Arab ini mempersoalkan menipisnya pengetahuan agama, khususnya ilmu fikih, di kalangan para penghulu saat itu. Buku itu laris, sehingga harus dicetak ulang dengan mesin litografi ukuran kecil milik Sayid Usman sendiri. Dengan mesin cetak sederhana itulah ia menyebar-luaskan pemikiran-pemikiran agama. Sikapnya yang tegas-keras memancing polemik dengan beberapa ulama yang lain.

Dalam bukunya Risalah Dua Ilmu, beliau membagi ulama menjadi 2 macam, yaitu ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia tidak ikhlas, materialistis, berambisi dengan kedudukan, sombong dan angkuh. Sedangkan ulama akhirat adalah orang ikhlas, tawadhu, berjuang mengamalkan ilmunya tanpa pretensi apa-apa, hanya lillahi ta’ala dan ridha Allah semata-mata.

Ia menjadi guru yang alim dan telah berhasil mendidik banyak murid-murid di Batavia waktu itu. Tak sedikit diantara mereka di kemudian hari menjadi ulama besar, seperti Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, Kwitang, Jakarta.

Selain keras dalam hal agama, Sayid Usman juga punya perhatian di bidang politik. Tapi sikapnya cukup kontroversial, terutama sikapnya mengenai jihad dan perang sabil, khususnya mengenai huru-hara melawan Belanda di Cilegon, Banten. Meski Sayid Usman punya alasan kuat dalam hujah-nya, banyak ulama yang mencibirnya sebagai antek penjajah. Apalagi sikapnya yang sangat menentang praktik-praktik mistik, sebagaimana ia tulis dalam kitab Manhaj al-Istiqamah.

Seorang pengamat Islam Indonesia, Karel Steenbrink menulis, “Pembaharuan Sayid Usman memang lebih terbatas dibanding pembaharuan yang dilakukan Syarekat Islam atau Muhamadiyah, sebab relevansi politik dan sosialnya sama sekali belum ada. Meski terbatas pada pembaharuan bidang ibadah, interpretasi fikih untuk urusan-urusan kecil dan beberapa peroalan akidah, Sayid Usman adalah seorang pembaharu.”

Di mata orientalis Belanda, Snouck Hourgronje, Sayid Usman adalah ulama pembaharu. Bahkan ketika ia dihantam oleh para ulama gara-gara kedekatannya dengan kolonial Belanda, Snouck tetap membelanya. Tetapi hal itu justru meneguhkan sikap Sayid Usman untuk keluar dari gelanggang politik.

Dalam tulisannya di harian De Locomotif edisi 11 Juli 1890, Snouck menulis, ”Beberapa waktu lalu kami telah minta perhatian terhadap buah karya baru Sayyid Uthman bin Abdillah al-Alawi dari Betawi yang tak kenal lelah, yaitu serangkaian pelajaran yang berguna yang ditujukannya buat orang-orang sebangsanya yang bermukim di sini; dan untuk tujuan tersebut ditempelkannya di berbagai mesjid Betawi. Pena dan mesin cetak litografi Syaid Usman telah menghasilkan karya yang besar.”

Dalam suratnya tertanggal 14 Maret 1890, Snouck menulis mengenai sikap Sayid Usman yang menentang keras keikut-sertaan kaum muslimin dalam praktik-praktik maksiat. Antara lain Snouck menulis, ”….beberapa peraturan tentang agama dan akhlak, yang pematuhannya dianjurkan oleh Sayyid Uthman kepada kaum muslimin, antara lain keikut-sertaan mereka dalam musik, minuman, dan tari-tarian…”

Sementara dalam surat tertanggal 26 Maret 1891, orientalis Belanda itu menulis mengenai sikap Sayid Usman tentang jihad yang menurutnya ditafsirkan secara salah: ”Banyak orang ‘disesatkan’ oleh beberapa ajaran syariat tentang jihad, dan mereka menyangka bahwa seseorang dapat mempertanggung-jawabkan suatu tindakan di hadapan Allah jika orang tersebut sebagai muslim mengambil harta orang-orang kafir, Cina ataupun Belanda untuk dirinya sendiri…”

Sayid Usman wafat pada 1331 H (1913 M), jenazahnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Namun di kemudian hari, saat ada penggusuran makam pihak keluarga berusaha memindahkan tanah kuburnya ke Pondok Bambu. Sekarang makamnya masih terpelihara dengan baik di sebelah selatan masjid Al-Abidin, Pondok Bambu, Jakarta Timur.di antara kitab nya adalah:


1.babulminan

2.sifat dua puluh(tauhid)

3.irsyadulanam(fiqih)

4.perhiasan bagus

5.minhajul istiqomah

6.jahrul basam

7.jamhul fawaid

album terakhir detik detik pemakaman mualim

ustdz jefri al bukhori
Ribuan murid murid mualim


Di tempat kediaman mualim

pembacaan do'a di makam mualim
Habib abdurohman & fauzi bowo
detik detik penurunan jenazah mualim


talqin di makam mualim



Jejak Ulama Betawi: Meneguhkan Peran Majelis Ta’lim




Jejak Ulama Betawi: Meneguhkan Peran Majelis Ta’lim

Sistem halaqah atau majelis ta’lim merupakan keunggulan yang semoga akan terus dipelihara dalam menegakkan dakwah dan kaderisasi ulama di tanah Betawi.

Dalam rentang 482 tahun usia ibu kota Jakarta, gempita dakwah tetap terjaga. Fundamen kukuh yang dibangun para ulama dan habaib sejak kota ini bernama Sunda Kalapa lalu menjadi Jayakarta, Batavia, dan akhirnya Jakarta, telah tertancap kuat di tengah masyarakat Betawi.

Pergeseran zaman dan perputaran sejarah tentu membawa riak-riak yang mempengaruhi struktur dan gaya hidup masyarakat Betawi, tetapi tetap tidak mengubah akar mereka sebagai penganut Islam sehingga Betawi itu identik dengan Islam.

Sistem halaqah atau majelis ta’lim yang dikembangkan oleh para ulama dan habaib, yang mengerti persis corak, kultur, kondisi sosiologis dan tuntutan masyarakat Betawi, telah menjadi dasar yang tak lapuk oleh zaman dalam mempertahankan eksistensi agama Islam di tengah masyarakat Betawi.

Christiaan Snouck Hurgrounje, yang pernah disebut-sebut sebagai orientalis paling berhasil di dunia, mencatat, masyarakat Betawi adalah penduduk pribumi yang paling lama dan paling erat berinteraksi dengan bangsa Eropa.

Lebih jauh Snouck mengatakan, tidak ada satu kampung pun di Jawa yang lebih taat beragama Islam dalam setiap tingkah lakunya daripada Betawi, dan agama Islam di Betawi lebih maju dari daerah lain. Dalam makalahnya, Khazanah Jakarta Menghadapi Tantangan Zaman, K.H. Saifuddin Amsir menguraikan, gambaran Snouck ini menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sangat mengerti kultur masyarakat di Indonesia dan bahwa kultur keagamaan di Betawi sudah begitu kuat sejak zaman penjajahan dulu.

Patut dicatat, Betawi pernah melahirkan ulama besar, yakni Syaikh Ahmad Junaidi Al-Batawi, yang pernah menjadi imam di Masjidil Haram. Ia bermukim di Makkah sekitar tahun 1834 M. Salah seorang muridnya yang berasal dari Mester Jatinegara, yaitu Guru Mujtaba, juga ulama besar. Guru Mujtaba ini bermukim di Makkah sekitar 40 tahun dan menghasilkan ulama-ulama besar yang kemudian mengisi khazanah ulama Betawi, seperti Guru Manshur Al-Falaki dari Jembatan Lima, Jakarta Barat.

Snouck mengomentari bahwa orang-orang Betawi adalah orang yang kental beragama Islam. Dari sisi keulamaan, Betawi dikenal karena adanya Habib Utsman Bin Yahya, mufti Betawi yang dengan konsisten mengajarkan sendi-sendi Islam ke segenap masyarakat Indonesia.

Sikap konsisten Habib Utsman Bin Yahya ini menurun kepada ulama-ulama Betawi belakangan. Seperti Guru Marzuki dari Cipinang Muara, Jakarta Timur; Guru Manshur Al-Falaki dari Jembatan Lima, Jakarta Barat; Guru Mahmud Ramli dari Menteng Dalam, Jakarta Selatan; Guru Mughni dari Kuningan, Jakarta Selatan.

Secara spektakuler orang-orang Jakarta, yang terbingkai dengan sebutan Betawi, tidak bisa melepaskan sejarah hubungan formal mereka yang begitu kental dengan orang Betawi tempo dulu yang berada di Makkah, dari Imam Junaid sampai dengan Imam Mujtaba.

Beberapa guru dari Betawi yang pernah mengajar di Masjidil Haram, seperti Guru Mahmud Ramli, Menteng Dalam, memunculkan kekuatan yang dapat mengantisipasi skenario besar yang dirancang oleh dunia luar Islam, yaitu kaum penjajah, dengan warna kebencian Barat terhadap Islam.

Bila pada masa-masa itu di India orang mengenal Ahmadiyah, yang dimotori oleh penjajah Inggris, di Iran ada alirah Baha’iyyah, yang dimotori Rusia, di Indonesia muncul aliran-aliran yang dimotori oleh orientalis-orientalis seperti Snouck dan Vander Plast, yang dapat mengunci mati semangat perjuangan umat Islam.

Tapi kehadiran ulama-ulama Betawi bagaikan ikan yang terus hidup di laut tapi tidak pernah asin oleh asinnya air laut. Mereka mampu membentengi aqidah umat dengan istiqamah dan membuat warga Betawi tetap eksis dalam Islam.

Alhasil, setiap warga Betawi identik dengan pemeluk Islam. Sehingga menjadi aneh kalau, belakangan ini, ada orang mengaku asli Betawi tapi bukan muslim.

Peran Halaqah
Menurut Abdul Aziz dalam makalahnya, Peranan Islam dalam Pembentukan Identitas Kebetawian, kuatnya pengaruh Islam dan sentimen anti Barat pada pertengahan abad ke-19 dapat dilihat dari kaitannya dengan perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat, terutama dengan munculnya ulama terkemuka di kalangan orang Betawi. Mereka adalah para ulama yang dididik di masjid-masjid Betawi lalu menuntut ilmu lanjutan di Tanah Suci.

Para ulama tersebut adalah kelompok terdidik yang secara perorangan maupun kolektif memiliki kemampuan mengembangkan solidaritas di kalangan masyarakat Betawi. Sebagaimana umumnya para haji di wilayah lain di Nusantara yang mengobarkan semangat anti penjajahan, pengalaman para ulama itu selama di Tanah Suci serta dedikasi mereka dalam berdakwah sekembalinya ke tanah air telah menempatkan mereka sebagai kelompok elite yang mampu memobilisasi dukungan masyarakat melalui fatwa-fatwa keagamaan, menumbuhkan proses identifikasi yang kuat terhadap Islam, dan menolak identitas lain selain Islam, termasuk penjajah.

Dalam masa ini perkembangan syiar Islam semakin intensif. Hal ini terlihat dari jangkauan wilayah dakwah para ulama itu, keberhasilan anak didik mereka menjadi juru dakwah di daerah mereka sendiri, serta penyediaan bahan bacaan keagamaan dalam tulisan Arab Melayu.

Enam “Pendekar” Betawi
Jaringan intelektual para ulama itu menampakkan bentuknya yang lebih jelas di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika sedikitnya enam orang ulama terkemuka berhasil melebarkan pengaruh keulamaan yang menjangkau hampir seluruh bagian Batavia. Jaringan keulamaan yang dikembangkan oleh enam “pendekar” itu kelak merupakan salah satu pilar kekuatan mereka sebagai kelompok elite yang diakui masyarakat.

Keenam ulama itu adalah K.H. Moh Mansur (Guru Mansur) dari Jembatan Lima, K.H Abdul Majid (Guru Majid) dari Pekojan, K.H. Ahmad Khalid (Guru Khalid) dari Gondangdia, K.H. Mahmud Romli (Guru Mahmud) dari Menteng Dalam, K.H Ahmad Marzuki (Guru Marzuki) dari Klender, dan K.H. Abdul Mughni (Guru Mugni) dari Kuningan.

Corak pendidikan para ulama tersebut, baik selama di tanah air maupun di Tanah Suci, sangat menentukan corak pemahaman Islam yang mereka sebar luaskan di kalangan orang Betawi. Ciri utama corak ini ialah kecenderungan yang kuat mempertahankan tradisi pemahaman Islam melalui khazanah intelektual sebagaimana terkandung dalam kitab-kitab klasik berbahasa Arab.

Sejalan dengan pengalaman belajar mereka di Tanah Suci yang umumnya berbentuk pengajian halaqah di masjid, model belajar dan materi yang diajarkan kepada murid-murid mereka di tanah air juga tidak berbeda jauh dari pengalaman belajar mereka sendiri.

Pendidikan model madrasah sebenarnya telah dikenal di Makkah dan Madinah sejak abad ke-12 dan terus berkembang hingga masa kedatangan orang-orang Islam dari Nusantara, tetapi tidak banyak ulama Betawi abad ke-19 yang memanfaatkan madrasah sebagai tempat menimba ilmu.

Menurut K.H. Ahmad Junaidi, seorang ulama Betawi terkemuka yang pernah tinggal di Makkah selama enam tahun, hanya sedikit ulama Betawi yang belajar di madrasah. Sebelum tahun 1933, orang Betawi yang belajar di madrasah biasanya masuk ke Madrasah Saulitiyah, milik orang India. Sesudah muncul Madrasah Darul Ulum, yang didirikan orang Palembang pada tahun 1933, kebanyakan orang Betawi yang ingin belajar di madrasah masuk ke sini.

Alasan utama madrasah tidak terlalu diminati antara lain terletak pada masa belajar yang panjang dan alasan keuangan. Mereka memandang, apa yang dilakukan halaqah-halaqah di Masjidil Haram jauh lebih ideal, karena pelajaran yang dipentingkan adalah penguasaan kitab kuning (klasik).

Silsilah Intelektual
Dalam kaitan ini, sangat penting bagi mereka silsilah intelektual. Salah satu prinsip yang mereka anut, al-isnad (sandaran intelektual) merupakan sebagian dari urusan agama, karena tanpa itu setiap orang akan merasa berhak mengatakan apa yang diinginkannya.

Sebagian besar ulama Betawi abad ke-19 yang belajar di Makkah berguru kepada sejumlah ulama yang memiliki isnad dengan ulama-ulama terkemuka di Makkah dan Madinah (Haramain) abad ke-17, seperti Ahmad Al-Qusyasyi dan Abdul Aziz Al-Zamzami. Di antara guru-guru mereka yang paling luas dikenal adalah Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid, dan Syaikh Umar Sumbawa.

Mukhtar Atharid dan Umar Bajunaid memiliki isnad melalui Syaikh Abubakar Syatha Al-Dimyati, pengarang kitab I’anatut Thalibin. Sedangkan isnad Umar Sumbawa melalui Syaikh Abdullah As-Syarkawi, pengarang kitab Syarkawi. Kedua kitab tersebut merupakan kitab standar di kalangan ulama Indonesia.

Sebagian guru mereka tidak selalu memiliki isnad dengan ulama terkemuka di abad sebelumnya, namun mereka tetap memiliki isnad yang pada akhirnya bermuara kepada apa yang disebut oleh Guru Mansur sebagai Ma’dan al-Irfan, atau sumber ilmu pengetahuan, yaitu Rasulullah SAW. Demikian pula, para ulama Betawi abad ke-20 yang sempat bermukim di Haramain belajar kepada murid-murid para ulama Haramain yang pernah mengajar ulama Betawi di abad sebelumnya, sehingga isnad mereka tetap terpelihara.

Sebagaimana lazimnya tradisi halaqah, seorang ulama tidak pernah belajar hanya kepada satu guru, melainkan kepada banyak guru, sehingga terdapat isnad di mana sejumlah besar ulama Betawi pada kurun waktu tertentu belajar dari ulama yang sama dan menciptakan isnad yang bersifat kolektif, di samping ada pula isnad yang bersifat perorangan.

Berbeda dengan ulama di Jawa, yang pada umumnya mengembangkan pondok pesantren, para ulama Betawi tetap setia dengan model halaqah di masjid-masjid, sebagaimana mereka alami di Tanah Suci. Dari keenam ulama Betawi abad ke-19, hanya Guru Marzuki Klender yang mendirikan pesantren dengan santri mukim sekitar 50 orang, tapi kemudian tidak dapat bertahan sepeninggalnya.

Ulama lainnya yaitu Guru Mansur, yang sempat berkiprah mengajar di madrasah pertama di Batavia, Jamiat Kheir. Bukannya mendirikan pesantren, tetapi justru mendirikan Madrasah Perguruan Islam Al-Mansyuriah. Secara umum dapatlah dikatakan, para ulama Betawi yang lebih belakangan cenderung mengembangkan madrasah daripada pondok pesantren. Sehingga mereka memadukan penyelenggaraan madrasah dengan pengajian model halaqah di masjid.

Halaqah seorang ulama Betawi biasanya tidak terbatas di masjid yang berlokasi dekat rumahnya, tapi lebih dari itu, menjangkau ke berbagai tempat yang jauh. Contoh aktual K.H. Syafi’i Hadzami, salah seorang mua’llim Betawi yang disegani. Ia mempunyai 40-an halaqah di berbagai tempat.

Khusus tentang Mua’llim M. Syafi’i Hadzami ini, pada akhir Mei yang lalu diadakan seminar bertajuk Muallim Syafi’i Hadzami In Memoriam, yang menyigi pemikiran dan kiprah dakwahnya sehingga dia diakui sebagai ulama terkemuka yang berpengaruh.

Tiga Institusi Pendidikan Agama
Salah seorang muridnya, K.H. Syaifuddin Amsir, membawakan makalah Peran Halaqah dan Majelis Ta’lim di DKI Jakarta dalam Mencetak Ulama. Menurut Syaifuddin Amsir, di masyarakat Betawi, ada tiga jenis institusi pendidikan yang dijadikan tempat untuk mendidik anak-anak mereka di bidang agama. Yaitu pesantren, madrasah, dan majelis ta’lim (halaqah)

Khusus majelis ta’lim, ini merupakan instusi pendidikan yang memiliki fungsi strategis dalam memaksimalkan masjid sebagai tempat pendidikan umat. Hal ini dikarenakan sebagian besar majelis ta’lim dari dahulu sampai sekarang, khususnya di Betawi, menjadikan masjid sebagai tempat aktivitasnya, dan sangat berperan penting dalam melahirkan ulama Betawi yang mumpuni di bidangnya.

Salah satu contohnya, Mu`allim K.H. Syafi`i Hadzami,`allamah di bidang fiqih Asy-Syafi`i yang pengaruhnya sangat luas, bahkan sampai hari ini, baik di masyarakat Betawi maupun luar Betawi. Ia ulama produk asli dari binaan banyak halaqah dan majelis ta’lim di Betawi. Pada masa menuntut ilmu, tidak kurang dari 11 majelis ta’lim dengan 11 orang guru yang ia datangi dalam rangka menuntut berbagai disiplin ilmu agama. Setelah menjadi ulama, ia pun mengajar tidak kurang di 30 majelis ta’lim sampai akhir hayatnya.

Dari pengajaran majelis ta’limnya, terlahir ulama Betawi terkemuka, seperti K.H. Drs. Saifuddin Amsir, K.H. Maulana Kamal, K.H. Abdurrahman Nawi, dan lain-lain, yang mereka pun meneruskan pengajaran di majelis ta’lim, baik di tempat gurunya pernah mengajar, majelis ta’lim yang dibentuknya, maupun majelis ta’lim yang dimiliki pihak lain.

Tiga Kelebihan
Keberhasilan halaqah di Betawi dalam mencetak ulama paling tidak karena dua hal. Pertama, tidak adanya batasan waktu untuk menyelesaikan satu disiplin ilmu atau satu kitab. Kedua, anak didik atau murid mempunyai kebebasan waktu dan kesempatan untuk menanyakan dan menyelesaikan pelajaran yang tidak dia pahami kepada gurunya. Dan ketiga, anak didik atau murid langsung dihadapkan dengan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.

Walhasil, dalam beberapa kesempatan telah teruji bahwa lulusan majelis ta’lim memiliki pemahaman ilmu agama yang lebih mendalam daripada lulusan perguruan tinggi Islam. Bahkan menurut Mu`allim K.H. Syafi`i Hadzami, tidak sedikit sarjana bidang Islam yang bergelar doktor dan profesor menjadikan lulusan majelis ta’lim sebagai tempat untuk bertanya tentang masalah-masalah yang pelik di bidang ke-Islaman.

Ini sangat beralasan. Karena, jika dilihat dari kitab-kitab yang dibahas dan ditamatkan di majelis ta’lim, tidak banyak dikupas bahkan tidak pernah dibahas secara tuntas di perguruan tinggi Islam. Kitab-kitab yang diajarkan majelis ta’lim di Betawi antara lain Syarh Hidayah al-Atqiya`, Syarh al-Hikam, Kifayah al-Atqiya`, Anwar Masalik, Tanbih al-Mughtarrin, Minhaj al-`Abidin, Tanbih al-Mughtarrin (semuanya kitab tasawuf).

Kemudian Sab`ah Kutub Mufidah, Fath al-Mu`in, Bidayah al-Mujtahid, Mughni al-Muhtaj, Minhaj at-Tholibin, Al-Mahalli, Fath al-Qorib, Kifayah al-Akhyar, Fath al-Wahhab, Tuhfah at-Thullab (kitab fiqih). Lalu Riyadh ash-Sholihin, Shohih Bukhori, Shohih Muslim, Nail al-Awthar (kitab hadits).

Berikutnya, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir an-Nasafi, Tafsir Munir (kitab tafsir), Tarikh Muhammad (kitab sejarah), Al-Itqon Fi `Ulum al-Qur`an (ilmu Al-Quran). Selain kitab-kitab di atas, di antara ulama Betawi yang mempunyai dan memimpin majelis ta’lim ada yang mengajarkan kitab hasil karyanya sendiri, seperti K.H. Muhadjirin Amsar Ad-Darry, yang mengarang syarah kitab fiqih Bulugh al-Maram yang diberi judul Mishbah adz-Dzulaam sebanyak delapan juz.

Walau ia telah wafat, kitab Mishbah adz-Dzulaam sampai sekarang tetap diajarkan di beberapa majelis ta’lim yang dipimpin oleh muridnya atau milik orang lain, baik di Bekasi, di Jakarta (misalnya di Madrasah Al-Wathoniyyah 9, pimpinan K.H. Shodri), maupun di daerah lainnya.

Selain itu, kitab Taysir (kitab tajwid), karangan K.H. Abdul Hanan Sa`id (almarhum), yang sampai sekarang masih diajarkan di Majelis Ta’lim Manhalun Nasyi`in, yang kini dipimpin oleh murid K.H. Ali Saman, dan di tempat-tempat lain. Juga kitab-kitab yang dikarang oleh Mu`allim K.H. Syafi`i Hadzami.

Kitab karangan ulama Betawi yang diajarkan hingga ke luar negeri sampai sekarang, seperti di Malaysia, adalah kitab ilmu falak, Sullam An-Nayrain, karangan Guru Manshur Jembatan Lima. Sedemikian pentingnya halaqah dan majelis ta’lim bagi umat Islam, khususnya masyarakat Betawi, sebagai salah satu tempat utama dan terpenting untuk mencetak ulama masa depan. Maka tentu menjadi keprihatinan melihat kondisi halaqah yang secara fisik tempatnya tidak memadai lagi untuk digunakan. Belum lagi semakin rendah kemampuan para murid dan penyelenggara untuk membiayai operasionalisasinya.

Sudut Spiritualitas dan Intelektualitas
Kini sudah saatnya segenap pihak terkait memperhatikan secara lebih serius dan mengambil tindakan nyata untuk menyelamatkan keberadaan halaqah atau majelis ta’lim di ibu kota. Mu`allim K.H. M. Syafi`i Hadzami sendiri menyadari hal ini dan telah melakukan upaya tersebut melalui program Arbai`in (pesantren) dan mendapat dukungan dan sambutan yang positif dari berbagai pihak terkait, terutama Departemen Agama.

Demikian juga Kiai Syaifuddin. Ia menawarkan sebuah konsep tentang lembaga yang diberi nama Zawiyah Jakarta/Betawi Corner. Keberadaan lembaga ini pernah dimaklumatkan pada saat miladnya dan juga milad Mu`allim K.H. M. Syafi`i Hadzami, tanggal 31 Januari 2009 lalu.

Istilah Zawiyah Jakarta, yang dalam bahasa Indonesia berarti “Sudut Jakarta”, sarat dengan makna sufistis. Zawiyah Jakarta adalah sudut spiritualitas yang diharapkan dapat mencerahkan dan membebaskan umat dari kesempitan hati yang berada di tengah-tengah pertarungan hidup dan bergulat dengan dengan segala persoalannya. Sudut spiritualitas yang menjadi rumah bagi siapa pun yang tersingkir dan merasa kalah oleh kekuatan dan tipu daya duniawi dan mendampingi mereka untuk mencapai derajat insan kamil.

Sedangkan Istilah Betawi Corner dicetuskan kemudian sebagai sudut intelektualitas yang melengkapi sudut spritualitas. Ini juga sebagai tandingan atau antitesa dari Sudut Amerika, American Corner, yang bercokol di berbagai kalangan universitas di Indonesia, yang ditengarai mempunyai agenda tersendiri untuk merusak Islam dan semua agama yang ada melalui liberalisme dan pluralisme agama.

Betawi Corner menjadi urgent karena melihat kondisi masyarakat Betawi sekarang ini yang sangat memprihatinkan. Dengan adanya Betawi Corner, diharapkan akan muncul ulama Betawi yang dapat berperan sama dengan para pendahulunya bahkan lebih, dan gagasan ini diharapkan dapat bersinergi dengan Jakarta Islamic Centre.

Adapun kegiatannya dimulai dari dua hal. Yaitu mengadakan isitighatsah Jakarta, istighatsah masyarakat dan ulama ibu kota, dan program Awwabin (program seperti Arbai`n tapi dilakukan ba`da maghrib).

Pemberdayaan Umat
Nama Betawi Corner kemudian disandingkan dengan nama Zawiyah Jakarta, sehingga menjadi Zawiyah Jakarta/Betawi Corner. Diharapkan, Zawiyah Jakarta/Betawi Corner dapat menjadi wadah pergerakan spriritualitas dan intelektualitas serta sebagai wadah pemberdayaan umat yang manfaatnya diharapkan tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Betawi, tetapi juga oleh masyarakat luas.

Visi dan misi lembaga ini adalah menjadi pusat pergerakan spiritualitas, intelektualitas, dan pemberdayaan umat, khususnya untuk masyarakat Betawi.

Adapun fungsinya adalah, pertama, sebagai tempat pembinaan spiritualitas dan intelektualitas. Kedua, tempat untuk melakukan rekacipta kebudayaan Betawi yang Islami. Ketiga, tempat bertemu, berdiskusi, dan bermusyawarah bagi ulama dan masyarakat Betawi dan Jakarta untuk merespons persoalan-persoalan yang muncul.

Keempat, tempat yang melahirkan produk-produk pemikiran Islam kontemporer yang berpegang pada warisan khazanah Islam masa lalu. Kelima, tempat pembibitan dan pengkaderan ustadz-utadz muda Betawi yang diharapkan bisa menjadi ulama-ulama Betawi yang berkualitas, bukan saja untuk masyarakat Betawi, tetapi juga untuk kepentingan umat Islam secara keseluruhan di kemudian hari.

Keenam, sebagai tempat pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat Betawi khususnya tidak tertinggal di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi dengan akhlaq dan tingkat pemahaman ke-Islaman yang memadai.
Halaqah atau majelis ta’lim memegang peranan penting dalam mencetak ulama dan memperkukuh dakwah Islamiyah di tanah Betawi. Oleh karenanya diharapkan agar keberadaan halaqah dipertahankan dan mendapatkan perhatian khusus dari pihak-pihak terkait, khususnya Pemprov DKI Jakarta. IMR





biografi mualim

KH. Syafi’i Hadzami



Image

Kehadiran Islam di Jakarta dan semakin banyaknya masjid yang didirikan pada abad ke-18, terutama setelah membludaknya orang Batavia yang menuntut ilmu di Makkah membawa daya jelajah intelektual yang luar biasa pada abad-abad berikutnya.

Banyaknya ulama yang bermunculan di abad ke-20 di berbagai penjuru kota Jakarta, dengan masjid dan lembaga pengajian sebagai locus intelektual, membawa dampak pada kecenderungan masyarakat Betawi (sebagai suku asli) yang dikenal sebagai masyarakat yang taat beragama (religius). Bahkan, Raffless sampai mengakui kemajuan perkembangan Islam di kalangan penduduk kota Batavia dalam bentuk asimilasi antara penduduk pribumi dengan pendatang selalu disebut Islamisasi orang selam.

Bersamaan dengan perkembangan Islam di Jakarta dan semakin banyaknya kelompok ulama, lahirlah sososk ulama Betawi yang menjadi generasi kedua dalam jaringan intelektual Islam Betawi pada abad ke -20, yakni KH. M. Syafi’I Hadzami. Ia dilahirkan pada tanggal 31 Januari 1931 M bertepatan dengan 12 Ramadlan 1349 H. Orang tuanya bernama Muhammad Saleh Raidi dan Ibu Mini. Sejak awal kecil KH. M. Syafi’I Hadzami berada dibawah bimbingan kakeknya, Husein, di Batutulis XIII, Pecenongan. Disinilah KH. M. Syafi’I Hadzami mendapatkan bimbingan intelektual pertama dengan belajar Al Qur'an hingga fasih beserta tajwidnya. Selain itu, ia juga belajar ilmu sharaf dan nahwu. Pada usia 9 tahun, KH. M. Syafi’I Hadzami sudah khatam Al Qur'an. Dibawah asuhan kakeknya yang disiplin dan tegas.

Sejak kecil, KH. M. Syafi’I Hadzami senang melihat orang-orang pintar, terutama para kyai. Ia ingin menyamai mereka. Karena itu, ketika kecil, ia senang berpakaian seperti ulama. Namun, ia tidak tahu dari mana datangnya keinginan itu. Padahal dalam tradisi keluarga, ia tidak melihat ada kecenderungan untuk menjadi kyai. Barangkali didikan kakeknya yang selalu menyuruhnya untuk mengaji dan sering mengajak ke tempat-tempat para ulama itulah yang membuat Syafi’i kecil ingin menyamai mereka (Ali Yahya, 1999). Keinginan itulah yang menjadikan Syafi’i Hadzami gigih dalam menuntut ilmu.

Penggambarannya untuk memburu ilmu-ilimu agama hanya terbatas di wilayah Jakarta. Ini berbeda dengan kebanyakan perjalanan intelektual ulama-ulama terkenal lainnya yang menuntut ilmu ke beberapa tempat. Syafi’i Hadzami tidak pernah menempuh pendidikan agama di pondok pesantren atau madrasah apalagi belajar di Timur Tengah. Pengajian kitab di masjid yang hingga sekarang ini masih hidup di kalangan masyarakat Betawi telah menjadi tradisi intelektual yang paling berharga bagi Syafi’i Hadzami. Dapatlah dikatakan bahwa selain tempat ibadah, masjid juga berfugsi sebagai tempat mengajarkan dan menyebarkan Islam (Aziz, 1996). Tradisi mengajar agama di masjid sebenarnya bukanlah hal yang baru. Kebiasaan ini dapat ditemukan di hampir seluruh dunia Islam, khususnya di dua masjid utama di tanah suci, Makkah dan Madinah, yang menurut Van Bruinessen (1990) dianggap oleh umumnya muslim Asia Tenggara abad ke-17 sebagai pusat kosmik dan sumber ilmu.

Namun kemantapan hatinya, ketekunan, dan kekerasan usahanya, yang didukung dengan kesungguhan beribadah, ketinggian akhlaq, dan kederdasan otaknya, telah mengantarkan Syafi’i Hadzami meraih keberhasilan yang patut dibanggakan, setara dengan ketinggian ulama lainnya. Inilah kelebihan Syafi’i Hadzami dalam perjalanan intelektualnya yang berbeda dengan kebanyakan ulama lainnya dalam jaringan intelektual abad ke-16 – 21.

Dalam buku biografinya yang ditulis oleh Ali Yahya (1999) disebutkan Syafi’i Hadzami tidak membatasi diri pada ilmu tertentu. Ia menyukai berbagai bidang keilmuwan. Di masa-masa awal, setelah mempelajari al Qur’an beserta tajwidnya dengan baik, maka ilmu yang palin ditekuninya adalah tauhid. Fiqh, dan ilma alat (nahwu, sharaf, dan balaghah). Berbagai kitab matan ia hafalkan, terutama yang berbentuk nadzam. Khusus untuk ilmu-ilmu alat, ia memberikan perhatian yang khusus. Penguasaan yang mendalam tentang ilmu alat menjadi prioritas utamanya di masa-masa awal. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa pengembangan selanjutnya dalam penguasaan berbagai cabang ilmu keislaman akan sangat tergantung kepada penguasaan ilmu alat. Setelah memiliki penguasaan yang mendalam tentang ilmu-ilmu alat barulah ia menekuni ilmu-ilmu lain, seperti ilmu ushul fiqh beserta qawaidnya, mantiq, tafsir, ulumul hadis, tasawuf, falak,’arudh dan lain sebagainya.

Jaringan Intektual
Jaringan intelektual yang didapat Syafi’i Hadzami dari guru-gurunya terbatas pada jaringan ulama Betawi, yang dikenal sebagai masyarakat religius dan mengandalkan masjid sebagai pusat intelektual. Namun demikian, Syafi’i Hadzami memiliki jaringan intelektual ke atas (guru-gurunya), seperti KH. Mahmud Romli, (1866 M), KH Ahmad Marzuki (1876 M), yang berpuncak pada dua ulama Haramain ternama abad ke-17; Ahmad al-Qusyasyi dan Abdul Aziz al Zamzami.

Beberapa ulama yang dikunjungi Syafi’i Hadzami memberikan kemantapan ilmunya sekaligus memperdalam pengetahuannya dalam keilmuwan Islam. Syafi’i Hadzami sering diajak kakeknya untuk mengaji dan membaca dzikir di tempat Kyai Abdul Fatah (1884-1947 M) yang dikenal sebagai pembawa Tarekat Idrisiyah ke Indonesia setelah mendapat ijazah dari Ahmad al-Syarif al-Sanusi di Makkah (Tim Penulis, 1994). Dari gurunya ini, ia mendapat doa khusus. Waktu itu, ia ikut berdzikir bersama kelompok Tarekat Idrisiyah yang dipimpin oleh Kyai Abdul Fattah. Dalam zikir itu, Syafi’i Hadzami yang masih belia pernah mengalami fana’ (lupa dan hilang kesadaran diri) kerena dibimbing agar ingat kepada Allah semata. Ia tidak ingat persis bagaimana situasiya saat itu. Maka kyai pun memberinya doa khusus. Ia dipanggil secara khusus menghadap sang kyai. Kyai Abdul Fattah mendoakan Syafi’i Hadzami agar kelak menjadi orang baik (Ali Yahya, 1999).

Syafi’i Hadzami juga berguru kepada Pa Sholihin tentang ilmu bahasa Arab, nahwu dan sharaf selama 2 tahun. Dalam mengajar, Pak Solihin tergolong keras dan disiplin, seperti kakeknya. Sebagai seorang yang telah ikut berjasa, maka untuk mengenangnya, musholla tempatnya belajar dinamakam raudlatuh al sholihin.

Setelah mengaji al Qur’an kepada guru-gurunya, Syafi’i Hadzami mengaji kepada Guru Sa’idan di Kemayoran (1948 – 1995). Pada gurunya ini, ia belajar ilmu tajwid ilmu nahwu dengan kitab pegangan mulhat al-i’rab, dan ilmu fiqh dengan kitab pegangan al Tsimar al Yani’ah yang merupakan syarah dari kitab al Riyadh al Badi’ah. Guru Saidan pula yang menyuruhnya belajar kepada kepada guru-guru yang lainnya, misalnya Guru Ya’kub, Sa’idi (Kebon Sirih), Guru Khalid (Gondangdia), dam Guru Abdul Madjid (Pekojan).

Salah satu guru utama Syafi’i Hadzami adalah Habib Ali ibn Husein al Atthas yang terkenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. Kepadanya Syafi’i Hadzami belajar lebih kurang 18 tahun, yaitu sejak 1958 – 1976. Seperti murid-murid Habib Ali lainnya (KH. S. Muhammad ibn Ali al Habsyi, Habib Abdullah ibn Abdul Qodir Bil Faqih, KH. Abdullah Syafi’i, KH. Tohir Romli, KH. Abdurrazaq Ma’mun, Prof. KH. Abu Bakar Aceh), Syafi’i Hadzami juga datang dengan membaca kitab dihadapan Habib Ali yang sering disebut dengan sistem sorogan.

Syafi’i Hadzami juga rajin mengikuti pengajian umum yang diasuh oleh Habib Ali ibn Abdurrahman al-Habsyi (Kwitang). Pada awalnya, ia diajak oleh kakeknya untuk menghadiri majlis yang bisa diadakan setiap hari Ahad. Bahkan, dari Habib Ali inilah ia mendapat kata pengantar berbahasa Arab dalam karyanya yang berjudul al Hajjat al Bayyinah.

Guru Syafi’i Hadzami yang lain adalah KH. Mahmud Ramli, seorang ulama besar Betawi. Selama 6 tahun (1950-1956), ia mempelajari kitab-kitab kuning, diantaranya Ihya Ulum ad Din, dan Bujayrimi. Selain Syafi’i Hadzami, murid-murid Guru Romli yang menjadi ulama terkemuka di Jakarta adalah KH. Abdullah Syafi’i, Thabrani Paseban, dan lain-lain.

Syafi’i Hadzami juga berguru kepada KH. Ya’kub Sa’di di Kebon Sirih. Selama 5 tahun (1950-1955) ia telah mengkhatamkan kitab-kitab mantiq dan ushuluddin, seperti kitab Idhah al Mubham, Darwis Quwaysini, dll. Sedangkan dalam ilmu Nahwu, ia belajar kepada KH. Muhammad Ali Hanafiyah seperti kitab; Kafrawi, Mulhat al i’rab dan Asymawi.

Beberapa guru Syafi’i Hadzami lainnya adalah KH. Mukhtar Muhammad (1953-1958), KH. Muhammad Shaleh Mushannif, KH. Zahruddin Utsman, Syaikh Yasin al Fadani, dan KH. Muhammad Thoha.

Jika dilihat dari guru-gurunya ini, tampak sekali Syafi’i Hadzami belajar kepada para ulama yang berasal dari luar Jakarta yang memiliki bobot intelektual yang luar biasa. Namun demikian, tingkat keilmuwan Syafi’i Hadzami tidak kalah dengan ulama-ulama lainnya yang hidup dalam generasi abad ke-20.

Sikap Terhadap Pembaharuan
Dalam setiap perubahan zaman, diperlukan suatu usaha baru untuk menafsirkan dan menyelaraskan agama dengan tuntutan zaman. Karena itu, pembaharuan diyakini sebagai cara untuk menyesuaikan agama agar tidak ketinggalan zaman. Inilah yang diyakini KH. M. Syafi’i Hadzami, bahwa pembaharuan sangat diperlukan oleh agama. Ini berarti ia tidak kaku dalam menyikapi perubahan dan perkembangan yang terjadi. Ia tidak menjadikan pandangan hidupnya menjadi suatu sistem yang tertutup dan kemudian memalingkan diri dari proses modernisasi.

Dalam menyikapi pembaharuan pemahaman ajaran-ajaran agama, KH. M. Syafi’i Hadzami bersikap cukup luwes dan tidak kaku. Dalam menghadapi gagasan-gagasan baru, ia tidak mau langsungmenolak atau menyetujuinya tanpa menimbangnya terlebih dahulu dengan pedoman syari’at. Jadi, pembaharuan dalam memahami agama bukan sesuatu yang harus ditolak, asalkan tidak keluar dari relnya dan ditangani oleh orang yang memiliki persyaratan- persyaratan untuk itu. Pandangan ini didasarkan pada teks hadis Nabi SAW bahwa setiap seratus tahun ada yang disebut mujaddid (pembaharuan). Dalam kehidupan beragama ini ada mujaddid, yaitu orang-orang yang memperbaharui pandangan-pandangan agama. Jadi, yang di perbaharui bukan agamanya, tetapi pandangannya. Ibarat mata yang sudah tidak bisa memandang dengan jelas, bila memakai kacamata, apa yang dipandang akan menjadi lebih jelas. Padahal, objek pandangannya sama saja. Jadi, bukan objeknya yang dirubah, melainkan alat untuk memandangnya yang perlu diperbaharui. Itulah tugas seoarang mujaddid.

Karya-karyanya
KH. M. Syafi’i Hadzami dikenal sebagai ulama produktif menuliskan pemikirannya dalam bentuk buku. Pada umumnya, karya-karyanya ditulis dalam bentuk risalah-risalah kecil dengan bahasa Indonesia bertuliskan arab. Karya-karyanya hampir semuanya ditulis pada era 80-an sebagai puncak intelektual sang kyai. Sedangkan pada tahun-tahun berikutnya, produktifitas menulisnya sudah mulai berkurang.

Karya terkenal KH. M. Syafi’i Hadzami adalah buku yang berjudul Tawdhih al Adillah, yang disusun acara tanya jawab yang diasuhnya di Radio Cenderawasih. Hingga kini, sudah terbit dalam 7 (tujuh) jilid dan telah berkali-kali dicetak ulang, yang peredarannya tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negeri jiran Malaysia.
Karya-karya lainnya adalah;
1.Sullamu al Arsy fi Qira’at Warsy
Risalah setebal 40 halaman ini berisi kaidah-kaidah khusus dalam pembacaan al Qur’an menurut Syekh Warasy.
2. Qiyas adalah Hujjah Syar’iyyah
Dalam risalah ini, dikemukakan dalil-dalil dari al Qur’an, Hadis, dan Ijma’ ulama yang menunjukkan bahwa qiyas merupakan salah satu argumentasi syari’ah.
3. Qobliyyah Jum’at
Dalam risalah ini membahas kesunatan shalat sebelum shalat jum’at dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
4. Shalat Tarawih
Di dalamnya dikemukakan dan dijelaskan dalil-dalil dari hadis dan keterangan para ulama yang berkaitan dengan shalat tarawih.
5.Ujalah Fidyah Shalat
Risalah ini membahas perbedaan pendapat tentang pembayaran fidyah (mengeluarkan bahab makanan pokok) untuk seorang muslim yang telah meninggal dunia yang dimasa hidupnya pernah meninggalkan beberapa waktu shalat fardhu.
6. Mathmah al Rubi fi Ma’rifah al Riba
Dalam risalah ini dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan riba, seperti hukum riba, bank simpan pinjam, deposito, dan sebagainya.

manaqib imam syafiih

Makam Imam SyafiiNama beliau ialah Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Uthman bin Shafi’ bin Al-Saib bin ‘Ubaid bin Yazid bin Hashim bin ‘Abd al-Muttalib bin ’Abd Manaf bin Ma’n bin Kilab bin Murrah bin Lu’i bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin Al-Nadr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrakah bin Ilias bin Al-Nadr bin Nizar bin Ma’d bin ‘Adnan bin Ud bin Udad. Keturunan beliau bertemu dengan titisan keturunan Rasulullah s.a.w pada ‘Abd Manaf. Ibunya berasal dari Kabilah Al-Azd, satu kabilah Yaman yang masyhur.


Penghijrahan ke Palestina
Sebelum beliau dilahirkan, keluarganya telah berpindah ke Palestina kerana beberapa keperluan dan bapanya terlibat di dalam angkatan tentera yang ditugaskan untuk mengawal perbatasan Islam di sana.

Kelahiran dan Kehidupannya
Menurut pendapat yang masyhur, beliau dilahirkan di Ghazzah – Palestina pada tahun 150 Hijrah. Tidak lama sesudah beliau dilahirkan bapanya meninggal dunia. Tinggallah beliau bersama-sama ibunya sebagai seorang anak yatim. Kehidupan masa kecilnya dilalui dengan serba kekurangan dan kesulitan.

PENGEMBARAAN IMAM AL-SHAFI’I

Hidup Imam As-Shafi’i (150H – 204H ) merupakan satu siri pengembaraan yang tersusun di dalam bentuk yang sungguh menarik dan amat berkesan terhadap pembentukan kriteria ilmiah dan popularitasnya.

Al-Shafi’i di Makkah ( 152H – 164H )
Pengembaraan beliau bermula sejak beliau berumur dua tahun lagi (152H), ketika itu beliau dibawa oleh ibunya berpindah dari tempat kelahirannya iaitu dari Ghazzah, Palestina ke Kota Makkah untuk hidup bersama kaum keluarganya di sana.
Di kota Makkah kehidupan beliau tidak tetap kerana beliau dihantar ke perkampungan Bani Huzail, menurut tradisi bangsa Arab ketika itu bahawa penghantaran anak-anak muda mereka ke perkampungan tersebut dapat mewarisi kemahiran bahasa ibunda mereka dari sumber asalnya yang belum lagi terpengaruh dengan integrasi bahasa-bahasa asing seperti bahasa Parsi dan sebagainya. Satu perkara lagi adalah supaya pemuda mereka dapat dibekalkan dengan Al-Furusiyyah (Latihan Perang Berkuda). Kehidupan beliau di peringkat ini mengambil masa dua belas tahun ( 152 – 164H ).

Sebagai hasil dari usahanya, beliau telah mahir dalam ilmu bahasa dan sejarah di samping ilmu-ilmu yang berhubung dengan Al-Quran dan Al-Hadith. Selepas pulang dari perkampungan itu beliau meneruskan usaha pembelajarannya dengan beberapa mahaguru di Kota Makkah sehingga beliau menjadi terkenal. Dengan kecerdikan dan kemampuan ilmiahnya beliau telah dapat menarik perhatian seorang mahagurunya iaitu Muslim bin Khalid Al-Zinji yang mengizinkannya untuk berfatwa sedangkan umur beliau masih lagi di peringkat remaja iaitu lima belas tahun.

Al-Shafi’i di Madinah ( 164H – 179H )
Sesudah itu beliau berpindah ke Madinah dan menemui Imam Malik. Beliau berdamping dengan Imam Malik di samping mempelajari ilmunya sehinggalah Imam Malik wafat pada tahun 179H, iaitu selama lima belas tahun. Semasa beliau bersama Imam Malik hubungan beliau dengan ulama-ulama lain yang menetap di kota itu dan juga yang datang dari luar berjalan dengan baik dan berfaedah. Dari sini dapatlah difahami bahawa beliau semasa di Madinah telah dapat mewarisi ilmu bukan saja dari Imam Malik tetapi juga dari ulama-ulama lain yang terkenal di kota itu.

Al-Shafi’i di Yaman ( 179H – 184H )
Ketika Imam Malik wafat pada tahun 179H, kota Madinah diziarahi oleh Gabenor Yaman. Beliau telah dicadangkan oleh sebahagian orang-orang Qurasyh Al-Madinah supaya mencari pekerjaan bagi Al-Shafi’i. Lalu beliau melantiknya menjalankan satu pekerjaan di wilayah Najran. Sejak itu Al-Shafi’i terus menetap di Yaman sehingga berlaku pertukaran Gabenor wilayah itu pada tahun 184H. Pada tahun itu satu fitnah ditimbulkan terhadap diri Al-Shafi’i sehingga beliau dihadapkan ke hadapan Harun Al-Rashid di Baghdad atas tuduhan Gabenor baru itu yang sering menerima kecaman Al-Shafi’i kerana kekejaman dan kezalimannya. Tetapi ternyata bahawa beliau tidak bersalah dan kemudiannya beliau dibebaskan.

Al-Shafi’i di Baghdad ( 184H – 186H )
Peristiwa itu walaupun secara kebetulan, tetapi membawa arti yang amat besar kepada Al-Shafi’i kerana pertamanya, ia berpeluang menziarahi kota Baghdad yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan para ilmuan pada ketika itu. Keduanya, ia berpeluang bertemu dengan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, seorang tokoh Mazhab Hanafi dan sahabat karib Imam Abu Hanifah dan lain-lain tokoh di dalam Mazhab Ahl al-Ra’y. Dengan peristiwa itu terbukalah satu era baru dalam siri pengembaraan Al-Imam ke kota Baghdad yang dikatakan berlaku sebanyak tiga kali sebelum beliau berpindah ke Mesir.

Dalam pengembaraan pertama ini Al-Shafi’i tinggal di kota Baghdad sehingga tahun 186H. Selama masa ini (184 – 186H) beliau sempat membaca kitab-kitab Mazhab Ahl al-Ra’y dan mempelajarinya, terutamanya hasil tulisan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, di samping membincanginya di dalam beberapa perdebatan ilmiah di hadapan Harun Al-Rashid sendiri.

Al-Shafi’i di Makkah ( 186H – 195H )
Pada tahun 186H, Al-Shafi’i pulang ke Makkah membawa bersamanya hasil usahanya di Yaman dan Iraq dan beliau terus melibatkan dirinya di bidang pengajaran. Dari sini muncullah satu bintang baru yang berkerdipan di ruang langit Makkah membawa satu nafas baru di bidang fiqah, satu nafas yang bukan Hijazi, dan bukan pula Iraqi dan Yamani, tetapi ia adalah gabungan dari ke semua aliran itu. Sejak itu menurut pendapat setengah ulama, lahirlah satu Mazhab Fiqhi yang baru yang kemudiannya dikenali dengan Mazhab Al-Shafi’i.

Selama sembilan tahun (186 – 195H) Al-Shafi’i menghabiskan masanya di kota suci Makkah bersama-sama para ilmuan lainnya, membahas, mengajar, mengkaji di samping berusaha untuk melahirkan satu intisari dari beberapa aliran dan juga persoalan yang sering bertentangan yang beliau temui selama masa itu.

Al-Shafi’i di Baghdad ( 195H – 197H )
Dalam tahun 195H, untuk kali keduanya Al-Shafi’i berangkat ke kota Baghdad. Keberangkatannya kali ini tidak lagi sebagai seorang yang tertuduh, tetapi sebagai seorang alim Makkah yang sudah mempunyai personalitas dan aliran fiqah yang tersendiri. Catatan perpindahan kali ini menunjukkan bahawa beliau telah menetap di negara itu selama dua tahun (195 – 197H).

Di dalam masa yang singkat ini beliau berjaya menyebarkan “Method Usuli” yang berbeza dari apa yang dikenali pada ketika itu. Penyebaran ini sudah tentu menimbulkan satu respon dan reaksi yang luarbiasa di kalangan para ilmuan yang kebanyakannya adalah terpengaruh dengan method Mazhab Hanafi yang disebarkan oleh tokoh utama Mazhab itu, iaitu Muhammad bin Al-Hasan Al-Shaibani.

Kata Al-Karabisi : “Kami sebelum ini tidak kenal apakah (istilah) Al-Kitab, Al- Sunnah dan Al-Ijma’, sehinggalah datangnya Al-Shafi’i, beliaulah yang menerangkan maksud Al-Kitab, Al-Sunnah dan Al-Ijma’”.
Kata Abu Thaur : “Kata Al-Shafi’i : Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyebut (di dalam kitab-Nya) mengenai sesuatu maksud yang umum tetapi Ia menghendaki maksudnya yang khas, dan Ia juga telah menyebut sesuatu maksud yang khas tetapi Ia menghendaki maksudnya yang umum, dan kami (pada ketika itu) belum lagi mengetahui perkara-perkara itu, lalu kami tanyakan beliau …”
Pada masa itu juga dikatakan beliau telah menulis kitab usulnya yang pertama atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, dan juga beberapa penulisan lain dalam bidang fiqah dan lain-lain.

Al-Shafi’i di Makkah dan Mesir ( 197H – 204H )
Sesudah dua tahun berada di Baghdad (197H) beliau kembali ke Makkah. Pada tahun 198H, beliau keluar semula ke Baghdad dan tinggal di sana hanya beberapa bulan sahaja. Pada awal tahun 199H, beliau berangkat ke Mesir dan sampai ke negara itu dalam tahun itu juga. Di negara baru ini beliau menetap sehingga ke akhir hayatnya pada tahun 204H.

Imam As-Shafi’i wafat pada tahun 204H. Asas Fiqih dan Ushul Fiqih kemudian disebar dan diusaha-kembangkan oleh para sahabatnya yang berada di Al-Hijaz, Iraq dan Mesir.

FATWA-FATWA IMAM AL-SHAFI’I

Perpindahan beliau ke Mesir mengakibatkan satu perubahan besar dalam Mazhabnya. Kesan perubahan ini melibatkan banyak fatwanya semasa beliau di Baghdad turut sama berubah. Banyak kandungan kitab-kitab fiqahnya yang beliau hasilkan di Baghdad disemak semula dan diubah. Dengan ini terdapat dua fatwa bagi As-Shafi’i, fatwa lama dan fatwa barunya. Fatwa lamanya ialah segala fatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada di Iraq, fatwa barunya ialah fatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada di Mesir. Kadang-kadang dipanggil fatwa lamanya dengan Mazhabnya yang lama atau Qaul Qadim dan fatwa barunya dinamakan dengan Mazhab barunya atau Qaul Jadid.

Di sini harus kita fahami bahawa tidak kesemua fatwa barunya menyalahi fatwa lamanya dan tidak pula kesemua fatwa lamanya dibatalkannya, malahan ada di antara fatwa barunya yang menyalahi fatwa lamanya dan ada juga yang bersamaan dengan yang lama. Kata Imam Al-Nawawi : “Sebenarnya sebab dikatakan kesemua fatwa lamanya itu ditarik kembali dan tidak diamalkannya hanyalah berdasarkan kepada ghalibnya sahaja”.

PARA SAHABAT IMAM AL-SHAFI’I

Di antara para sahabat Imam Al-Shafi’i yang terkenal di Al-Hijaz (Makkah dan Al-Madinah) ialah :-

1. Abu Bakar Al-Hamidi, ‘Abdullah bun Al-Zubair Al-Makki yang wafat pada tahun 219H.
2. Abu Wahid Musa bin ‘Ali Al-Jarud Al-Makki yang banyak menyalin kitab-kitab Al-Shafi’i. Tidak diketahui tarikh wafatnya.
3. Abu Ishak Ibrahim bin Muhammad bin Al-‘Abbasi bin ‘Uthman bin Shafi ‘Al-Muttalibi yang wafat pada tahun 237H.
4. Abu Bakar Muhammad bin Idris yang tidak diketahui tarikh wafatnya.

Sementara di Iraq pula kita menemui ramai para sahabat Imam Al-Shafi’i yang terkenal, di antara mereka ialah :-

1. Abu ‘Abdullah Ahmad bin Hanbal, Imam Mazhab yang keempat. Beliau wafat pada tahun 241H.
2. Abu ‘Ali Al-Hasan bin Muhammad Al-Za’farani yang wafat pada tahun 249H.
3. Abu Thaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi yang wafat pada tahun 240H.
4. Al-Harith bin Suraij Al-Naqqal, Abu ‘Umar. Beliau wafat pada tahun 236H.
5. Abu ‘Ali Al-Husain bin ‘Ali Al-Karabisi yang wafat pada tahun 245H.
6. Abu ‘Abdul RahmanAhmad bin Yahya Al-Mutakallim. Tidak diketahui tarikh wafatnya.
7. Abu Zaid ‘Abdul Hamid bin Al-Walid Al-Misri yang wafat pada tahun 211H.
8. Al-Husain Al-Qallas. Tidak diketahui tarikh wafatnya.
9. ‘Abdul ‘Aziz bin Yahya Al-Kannani yang wafat pada tahun 240H.
10. ‘Ali bin ‘Abdullah Al-Mudaiyini.

Di Mesir pula terdapat sebilangan tokoh ulama yang kesemua mereka adalah sahabat Imam Al-Shafi’i, seperti :-

1. Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin ‘Amru bin Ishak Al-Mudhani yang wafat pada tahun 264H.
2. Abu Muhammad Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi yang wafat pada tahun 270H.
3. Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya Al-Misri Al-Buwaiti yang wafat pada tahun 232H.
4. Abu Najib Harmalah bin Yahya Al-Tajibi yang wafat pada tahun 243H.
5. Abu Musa Yunus bin ‘Abdul A’la Al-Sadaghi yang wafat pada tahun 264H.
6. Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam Al-Misri yang wafat pada tahun 268H.
7. Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Jizi yang wafat pada tahun 256H.

Dari usaha gigih mereka, Mazhab Al-Shafi’i tersebar dan berkembang luas di seluruh rantau Islam di zaman-zaman berikutnya.

fiqih Hadia dan korupsi menurut kitab kuning






Image
Idhaah Al Ahkam Lima Ya’khuzhuhu Al Úmmal Wa Al Hukkam

Ka’ab berkata : “Suap bisa membuat bodoh orang santun dan membutakan mata orang bijak”
Rabi’ah berkata : “Hadiah merupakan jalan menuju suap dan penyakit yang mendatangkan kegelapan”

Kasus korupsi, suap atau uang pelicin dan nepotisme, KKN, telah menjadi kasus yang serius di negeri kita. Ibarat kanker ganas ia telah menggerogoti seluruh anggota tubuh dan menyebar dalam segala lini kehidupan kita sehingga pemerintah perlu membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan pengadilan tindak pidana korupsi (TIPIKOR), dan hasilnya masih belum memuaskan banyak kalangan. Kejaksaan, kepolisian, lembaga peradilan justru dianggap sarang jual-beli kasus hukum. Bebas atau tidaknya suatu persoalan hukum tergantung tawar-menawar dibelakang layar. Anehnya kitapun sudah biasa memberikan uang pelicin, uang rokok, jika berhadapan dengan aparat, kepolisian, atau birokrasi jika kita ingin urusan lancar, bahkan anggota DPR pun terbiasa menerima uang ini dan itu dari berbagai pihak yang ingin urusan mereka lancar dan mendapat dukungan dari anggota DPR yang sedang membahas rancangan UU tertentu.

Agaknya kasus korupsi dan suap kepada para pejabat, birokrat, dan kepada hakim untuk memenangkan perkara sudah menjadi persoalan klasik, sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Bahkan persoalan korupsi sudah ada ketika Rasulallah SAW masih hidup, apalagi pada masa dinasti Umayyah, dinasti Abbasiyah, dan dinasti Mamluk, dimana Ibnu Hajar Al Haitami menulis karyanya yang berjudul “Idhaah Al Ahkam Lima Ya’khuzhuhu Al Úmmal Wa Al Hukkam”.

Di kalangan Mazhab Syafi’i, nama Ibnu Hajar Al Haitami sangatlah popular, karya-karyanya memiliki otoritas dan menjadi salah satu rujukan penting mazhab. Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro, Al Fatawa Al Haditsiah, Tuhfah Al Muhtaj Bi Syarh Al Minhaj, As Shawa`iq Al Muhriqah Fi Ar Radd ‘Ala Ahl Al Bida’ Wa Az Zanadiqah adalah sederet karya pentingnya yang menjadi rujukan mazhab di kalangan syafi’iah, lebih-lebih pesantren dan Nahdatul Ulama.

Lahir tahun 909 H dengan nama Syihabuddin Ahmad Bin Muhammad Bin Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ali Ibni Hajar Al Haitami, meski demikian ia lebih popular dengan nama Ibnu Hajar karena kakeknya terkenal sangat pendiam dan jarang berbicara kecuali hal-hal yang sangat mendesak dan karena itulah dikonotasikan dengan batu. Ibnu Hajar lahir dalam keadaan yatim di daerah Salmanat. Oleh karena banyak kekacauan dan fitnah di daerah itu maka kakeknya membawanya pindah ke daerah Al Haitam. Sehingga namanya lebih popular dinisbahkan ke daerah Haitam, salah satu daerah di Mesir. Nisbah ini digunakan untuk membedakan dengan Ibnu Hajar Al Asqolani yang lebih terkenal dengan pakar hadits. Ia banyak belajar kepada para ulama terkenal di Mesir diantaranya adalah Syaikh Zakaria Al Anshari, pengarang Fath Al Wahab yang terkenal itu. Ia juga berguru pada Muhammad bin Abi Al Hamail, Abdul Haq bin Muhammad As Sinbathi, Abu Bakar Al Masyhadi, Syihabuddin Ahmad Ar Ramli, dan Abu Al Hasan, dll. Dan diantara muridnya yang cukup terkenal adalah Imam Az Zayadi.

Tahun 933 H ia menemani gurunya Syaikh Al Bakri melakukan ibadah haji dan disana ia tinggal selama satu tahun. Tahun 937 H untuk yang kedua kalinya ia juga menemani sang guru melakukan ibadah haji dan pada tahun 940 H, ia bersama sang guru melakukan ibadah haji untuk yang ketiga kalinya. Mulai saat itu ia menghabiskan masa karir ilmiahnya di Makkah, mengajar, berfatwa dan mengarang. Namanya menjulang tinggi sebagai seorang alim yang mendapat kedudukan terhormat di Makkah dan memiliki banyak murid serta menjadi ulama yang memiliki otoritas yang kuat. Meskipun demikian ia tetaplah menjalani hidupnya yang tidak mudah, serba kekurangan bahkan menurut keterangannya sendiri, pernah selama empat tahun ia tidak makan daging karena saking miskinnya. Ia juga bergulat dengan penyakit wasir dan kencing batu yang senantiasa menderanya. Dan pada tahun 947 H, tepatnya hari Senin tanggal 23 Rajab ia berpulang kehadirat ilahi dan dimakamkan di pekuburan Ma’la, Makkah. Hari itu Makkah diselimuti duka yang mendalam, ribuan orang berdesak-desakan untuk dapat menyentuh jenazahnya dan membawanya keperistirahatan terakhirnya.

Menurut Ridha Fathi Muhammad Khalil Al ‘Ibadi, pentahkik kitab ini, karya Ibnu Hajar ini hampir tidak dikenal sebagai salah satu karya Ibnu Hajar yang berjumlah delapan puluh karya ilmiah, baik yang masih berbentuk manuskrip atau yang sudah dicetak. Hal ini dikarenakan para penulis ensiklopedia biografi para ulama dan karya-karya mereka seperti Umar Ridha Kahala, Khairuddin Az Zirikli, Haji Khalifah, dan Al Baghdadi tidak mendaftar kitab ini sebagai karya Ibnu Hajar. Ibnu Hajar sendirilah yang menyebutkan karya ini dalam salah satu kitabnya Tahrir Al Maqal Fi Adabi Wa Ahkam Wa Fawaid Yahtaju Ilaiha Muaddibu Al Athfal. Hlm.61-62

Karya ini dapat hadir dan dibaca publik atas kerja keras sang pentahkik yang secara tekun menelusuri kitab yang menghimpun senarai kitab-kitab dan karya-karya yang menghimpun dan mengkaji karya-karya Ibnu Hajar Al Haitami dan akhirnya ia menemukan naskah manuskrip ini di Dar Al Kutub Al Mishriyyah, Maktabah Al Ahqaf di Yaman dan di Perpustakaan Al Azhar.

Karya ini sebetulnya ditulis Ibnu Hajar Al Haitami (909-974 H) sebagai jawaban atas penyataan tertulis yang berasal dari Yaman pada tahun 957 H mengenai persoalan persoalan yang berkaitan dengan hukum hadiah dan suap, lalu ia menulis jawabannya secara ringkas. Untuk membahas secara mendalam persoalan ini ia meneliti berbagai kitab dan diantaranya adalah kitab “Fashl Al Maqal Fi Hadaya Al ‘Ummal karya Syaikhul Islam , Tajuddin As Subki. Akan tetapi menurut Ibnu Hajar karya ini telalu panjang lebar sehingga sangat sulit untuk dipahami para pelajar bahkan semua kalangan, karena As Subki tidak melakukan tarjih terhadap banyak persolan bahkan cenderung pada pendapat yang lemah. Oleh karena itu Ibnu Hajar ingin meringkas dan menjelaskannya dengan bahasa yang mudah dipahami bagi semua kalangan yang ada dan melengkapinya dengan banyak persoalan-persoalan yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat.

Karya ini sebagaimana yang dikatakan sendiri oleh Ibnu Hajar merupakan kitab yang tiada duanya dalam persoalan ini. Hlm. 85. Pernyataan ini memang tidak berlebih-lebihan karena di dalam Mazhab Syafi’i, inilah kitab pertama dan secara spesifik, sudah barang tentu asal karya ini, yakni karya As Subki, yang membahas persoalan hadiah, korupsi dan suap yang diterima oleh para pegawai pemerintah. Biasanya persoalan ini dibahas dalam persoalan peradilan dan sewa menyewa dalam karya-karya sebelum Ibnu Hajar Al Haitami. Ada satu hal yang agak aneh, meski Syaikh Abd Al Ghani An Nabulsi wafat 1143 H telah menyusun satu kitab yang berjudul Tahqiq Al Qadhiyah Fi Al Farq Bain Ar Risywah Wa Al Hadiyah, Fiqh Mazhab Hanafi, ia sama sekali tak pernah menyebut nama dan karya Ibnu Hajar ini ketika membeberkan pendapat mazhab syafi’i dalam kitabnya itu. Hlm. 64

Sebagaimana dari judulnya kitab ini memang secara khusus mengupas persoalan hukum memberi hadiah kepada para pejabat pemerintahan, para hakim, dan para birokrat.

Pada pasal pertama Ibnu Hajar Al Haitami memulai dengan menukil sejumlah hadits-hadits yang mengharamkan praktek suap dan hadiah kepada para pejabat pemerintah. Paling tidak ada dua belas hadits yang dinukil oleh Ibnu Hajar, diantaranya hadits riwayat At Tirmizhi, Ahmad dan Al Hakim yang berasal dari Abdullah bin Amru berkata: Rasulallah melaknat penyuap dan yang minta suap. Hadiah kepada para pejabat adalah tindakan koruptif. (HR. Ahmad dan Al Bazzar). Penghianat yang paling besar adalah penguasa yang menjadikan rakyatnya sebagai obyek bisnis. (HR. An Nuqqasy dan Abi Nu’aim). Barangsiapa yang kami angkat sebagai pegawai atas suatu pekerjaan lalu kami memberikan gaji kepadanya, maka apa yang ia ambil selain gajinya itu adalah tindakan koruptif (ghulul). (HR. Abu Daud). Hadiah kepada para pejabat adalah tindakan koruptif (ghulul). ( HR. Al Bazzar dan Ahmad ). Hadits-hadits ini diletakkan pada pasal pertama tentunya sebagai basis teologis dan hukum bahwa suap dan hadiah kepada para pejabat adalah tindakan tercela, dilaknat, dan koruptif. Dari hadits-hadits ini pula kita dapat mengatakan bahwa hadiah-hadiah yang diberikan kepada para pejabat, hakim, para pengambil keputusan seperti anggota DPR entah atas nama hadiah tetaplah dianggap sebagai tidakan koruptif karena mereka sudah memperoleh gaji yang sudah ditentukan pemerintah.

Selanjutnya pada pasal kedua Ibnu Hajar Al Haitami menjelaskan bahwa Allah S.W.T telah memerintahkan para “wakil-Nya”, seperti para penguasa dan para hakim untuk menegakkan keadilan tanpa menukarnya dengan imbalan apapun. Jika mereka mengambil dan menerima suap berarti mereka menjadikan suap itu harga dari keadilan. Allah tidak rela jika keadilanNya ditukar dengan harta duniawi dan itu berarti tindakan penghianatan terhadap Allah, para rasulNya, para malaikatNya, dan orang-orang beriman, karena itu keadilan tidak boleh diperdagangkan. Ia laksana air mengalir dan siapapun berhak untuk menikmatinya. Hlm. 114-115.

Adakalanya suap diberikan seseorang kepada seorang hakim agar ia memenangkan perkara yang sebenarnya ia jelas berada di pihak yang salah, namun bisa juga seseorang berada di pihak yang benar memberikan suap untuk memperoleh haknya. Yang pertama jelas haram, sedang untuk yang kedua, hakim yang menerima suaplah yang berdosa sedang yang memberi suap tidak. Hakim yang demikian berarti telah merubah hukum Allah dan menjadikannya sebagai lahan bisnis. Hlm. 117-121.

Mengenai hadiah kepada hakim, Ibnu Hajar berpendapat hal itu boleh saja asalkan orang yang memberikan hadiah itu sudah terbiasa sebelumnya memberikan hadiah kepada sang hakim sebelum dia diangkat menjadi hakim dan dia sedang tidak memiliki sengketa hukum, tidak ada indikasi hadiah itu sebagai permulaan suap, hadiah tidak melebihi dari biasanya. Meskipun hal ini makruh menurut Al Mawardi, menyalahi hal utama, khilaf al aula menurut Ashab Syafi’iah dan yang paling utama adalah tidak menerimanya. Menerima hadiah bisa juga menjadi haram hukumnya menurut ijma` ulama jika yang memberikan hadiah itu sedang memiliki sengketa hukum, meskipun bukan di wilayah kompetensi hakim yang bersangkutan dan sudah terbiasa sebelumnya memberi hadiah kepada sang hakim sebelum ia diangkat menjadi hakim. Hlm. 139-147.

Adapun hadiah yang mengandung subhat sebagai suap atau jelas-jelas sebagai suap, maka seorang hakim harus mengembalikannya kepada pemberi dan tidak boleh memilikinya, apabila barang itu rusak maka ia menjadi hutang yang harus dikembalikan sesuai dengan nilai barang tersebut. Jika ia meninggal sebelum melunasi pengembalian hadiah itu maka diambilkan dari tirkah (warisan). Lalu bagaimana jika pemiliknya tidak diketahui atau tidak ditemukan, menurut imam Ibnu Hajar haruslah dikembalikan kepada Baitul Mal (Kas Negara) karena uang atau barang itu statusnya sama dengan barang hilang. Inilah pendapat yang mu`tamad dalam Mazhab Syafi’i. Hlm. 145.

Jika hadiah atau suap dalam bentuk manfaat dan bukan dalam bentuk uang atau benda, maka menurut Ibnu Hajar berdasarkan pendapat yang zhahir dalam mazhab statusnya sama dengan benda atau uang. Hlm. 214.

Karya Ibnu Hajar ini kiranya perlu dibaca dan dikaji secara seksama, lebih-lebih kita kalangan pesantren harus turut bertanggungjawab mendidik para santri dan menanamkan nilai-nilai agama sehingga mereka tidak menjadi koruptor serta adil dan amanah dalam jabatan. Pemerantasan korupsi, suap dan sebagainya dimulai dari pendidikan dan disinilah peran pesantren. Dan kitab ini bisa menjadi bahan bacaan wajib mengenai fiqh suap dan korupsi dan di sini pulalah urgensi kitab karya Ibnu Hajar Al Haitami. Meski demikian, dalam kitab ini ada beberapa persoalan yang tidak relevan dengan situasi kontemporer kita. Misalnya hakim yang mengambil upah dari pihak-pihak yang bersengketa. Hal ini karena di zaman dahulu memang ada hakim yang tidak menerima gaji dari pemerintah, berbeda halnya dengan zaman sekarang.

Kitab yang ditahkik oleh RidhaFathi Muhammad Khalil Al’Ibadi ini memang patut diapresiasi karena hasil tahkik kitab ini sangat membantu pembaca karena banyaknya anotasi atau footnote yang diberikan, baik berkaitan dengan nama, riwayat hidup tokoh-tokoh dan ulama-ulama yang ada di dalam kitab ini disajikan dengan baik atau pendapat-pendapat yang ada dirujukkan kepada kitab-kitab fiqh yang menjadi acuan didalam Mazhab Syafi’i atau mazhab yang lain. Tahkik kitab ini juga ditambah dengan biografi lengkap Ibnu Hajar, senarai judul-judul karya Ibnu Hajar dan sumber-sumber kitab manuskrip juga beberapa variasi perbedaan antara berbagai manuskrip disajikan sebagai footnote. Keseriusan tahkik ini dapat dilihat dari referensi yang digunakan yang jumlahnya mencapai 213 judul kitab, baik yang berbahasa arab atau bahasa inggris, jerman dan perancis ditambah lagi dengan fihris baik al Qur-an atau al Hadis maupun tokoh-tokoh ulama. (Samito, MSI, Guru Madrasah Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta)

AL TABSIRAH FI AL -FIQH






Image
Al-Tabsirah fi Usul al-Fiqh

Al-Tabsirah fi Usul al-Fiqh (Ulasan tentang Usul Fiqh) adalah salah satu kitab karangan Abu Ishaq al-Syirazi, salah seorang ulama penting dalam mazhab Syafi'i yang hidup pada abad 5 Hijriyah. Tema kitab ini, sebagaimana tergambar dalam judulnya, adalah mengenai ushul al-fiqh atau teori hukum Islam. Kitab ini ditulis oleh al-Syirazi sebelum kitab yang lain yang lebih ringkas dan mengenai tema yang sama, al-Luma' fi Ushul al-Fiqh (Kilatan-Kilatan Cahaya).

Kitab yang terakhir ini lebih populer di pesantren-pesantren NU. Kiai Sahal Mahfuz (Ketua MUI sekarang), misalnya, sering membaca kitab ini, entah untuk "pengajian kilat" selama bulan puasa, atau untuk pengajian biasa di luar Ramadan. Di dunia kesarjanaan Barat, kitab ini dikenal melalui terjemahan dan analisis kritis yang dikerjakan oleh sarjana Perancis Eric Chaumont dalam bukunya yang berjudul Kitab al-Luma? fi usul al-fiqh; le Livre des Rais illuminant les fondements de la compréhension de la loi: Traité de théorie légale musulmane.

Sekedar catatan mengenai karir al-Syirazi: puncak karir intelektual al-Syirazi dicapai di Baghdad saat dia menjabat sebagai profesor di bidang fiqh mazhab Syafi'i di al-Madrasah al-Nizamiyyah atau Nizamiyyah College yang didirikan oleh Nizam al-Mulk (w. 1092), seorang perdana menteri dalam kesultanan Saljuk yang dikenal cinta ilmu. Sebagaimana kita tahu, fokus pengajaran di Madrasah Nizamiyyah di Baghdad (ada cabangnya yang lain di beberapa wilayah, seperti Nisapur) adalah kalam atau teologi menurut akidah Ash'ariyyah dan fiqh menurut mazhab Syafi'i. Madrasah ini bisa dianggap sebagai bertanggung jawab atas tersebarnya doktrin Asy'ariyyah di dunia Sunni sejak abad kelima Hijriyah.

Yang menarik adalah format kitab al-Tabsirah ini. Tidak sebagaimana karya-karya ushul fiqh belakangan, kitab ini ditulis dengan gaya dialektik atau jadal. Hampir seluruh pembahasan dalam buku ini berisi perdebatan antara posisi intelektual yang diambil al-Syirazi berhadapan dengan lawan-lawannya. Kalau kita telaah dengan cermat, gaya kitab ini persis dengan kitab al-Risalah yang ditulis oleh Imam Syafi'i. Kedua kitab itu merupakan semacam polemik untuk mempertahankan suatu tesis tertentu melawan lawan-lawan diskusi yang ada di seberang. Inilah yang disebut dengan jadal -dikenal sebagai disputatio dalam tradisi dunia Latin yang saya duga terpengaruh oleh tradisi dalam Islam.

Debat semacam ini bisa diinterpretasikan bahwa usul fiqh sebagai sebuah disiplin belum seluruhnya mapan benar pada tahap itu, yakni abad empat dan lima. Meskipun pada masa al-Syirazi, ushul fiqh tentu sudah berkembang lebih jauh dibanding pada masa Imam al-Syafi'i yang hidup dua abad sebelumnya. Karena belum seluruhnya mapan, maka dapat kita maklumi jika kita melihat perdebatan yang sengit dalam kitab itu antara al-Shirazi dan lawan-lawannya. Ini persis dengan debat antara Imam al-Syafi'i dan lawan-lawannya dalam al-Risalah (yang dianggap sebagai buku pertama yang meletakkan landasan di bidang ushul fiqh). Kita bisa menyaksikan perdebatan semacam ini dalam tahan formasi atau perkembangan awal sebuah disiplin ilmu.

Kitab al-Tabsirah ini dibuka dengan cara yang tak lazim seperti kita kenal dalam karya-karya usul fiqh dalam periode belakangan. Umumnya kitab-kitab usul fiqh yang lain dibuka dengan pembicaraan tentang pengertian menganai ujaran Tuhan (al-khithab) dan hukum (al-hukm al-syar'i) serta karakternya. Karya al-Syirazi ini dibuka dengan sebuah pembahasan tentang teori perintah (al-amr). Ini bisa dimengerti karena "perintah" adalah fondasi dalam hukum Islam.

Ada aspek yang menarik dalam bab pembukaan tentang teori perintah ini. Meskipun secara umum al-Syirazi mengikuti doktrin Asy'ariyyah, tetapi dalam buku ini seringkali dia mengambil posisi intelektual yang independen. Dalam diskusi soal apakah perintah memiliki redaksi atau ekpresi verbal tertentu, misalnya, dia mengambil posisi yang berbeda dengan kelompok Asy'ariyyah. Menurut kelompok yang terakhir ini, perintah tidak memiliki redaksi atau ekspresi verbal tertentu. Kata "if'al" yang artinya "kerjakanlah" dan dianggap sebagai bentuk paling standar dari sebuah perintah tidak secara intrinsik mengandung efek amar atau perintah kecuali ada konteks atau bukti lain yang menyertainya -apa yang dalam ushul fiqh disebut dengan "qarinah". Ini adalah pendapat kelompok Asy'ariyyah.

Al-Syirazi mengambil posisi yang berbeda. Dia berpendapat bahwa secara intrinsik ungkapan "kerjakanlah" dan semacamnya mengandung makna perintah lepas dari bukti-bukti pendukung eksternal. Dengan kata lain, ujaran mengandung makna dalam dirinya sendiri.

Dua teori ini, menurut saya, sangat menarik jika dielaborasi lebih lanjut untuk melihat asumsi-asumsi (katakan saja semacam "pre-conscious") yang dianut oleh sarjana fikih klasik tentang karakter ujaran atau bahasa. Ini tentu wilayah riset yang sangat menarik. Teori al-Syirazi agak mirip-mirip dengan teori sastra dari kalangan formalis seperti dikembangkan oleh Roman Jakobson -bahwa teks sastra bisa berdiri bendiri sebagai sebuah sistem yang lengkap tanpa mengandaikan konteks eksternal di luar dirinya. Sementara itu, teori Asy'ariyah lebih dekat dengan teori sastra kontekstual (jika istilah ini bisa dipakai). Tentu ini perbandingan yang tak seluruhnya tepat, sekedar untuk mendekatkan perdebatan klasik dalam khazanah Islam dengan perdebatan serupa di era modern.

Teori kelompok Asy'ariyah terus terang menarik perhatian saya. Tepatnya, saya lebih simpati kepada pendapat kelompok ini ketimbang pendapat al-Syirazi. Jika ujaran tidak bisa mengandung makna tanpa mempertimbangkan konteks tertentu, tentu hal ini mempunyai dampak yang sangat "radikal" dalam memahami teks-teks agama, terutama teks Quran dan Sunnah.

Secara praktis, misalnya, kita bisa mengatakan hal berikut ini: jika ada sebuah "sunnah qauliyyah" atau ujaran Nabi yang secara verbal diucapkan dalam bentuk perintah (misalnya "panjangkan jenggot"), maka ujaran itu tidak dengan sendirinya menunjuk kepada makna tertentu (dalam konteks contoh yang saya sebut di atas berarti perintah memanjangkan jenggot) tanpa melihat konteks pendukung. Ujaran itu sendiri tak mampu men-generate suatu makna atau pengertian dari dalam dirinya sendiri. Pendapat kelompok Asy'ariyyah ini jelas lebih berwatak kontekstual dan "historis".

Ini berbeda dengan pendapat al-Syirazi yang cenderung lebih "tekstual", atau tepatnya "internalistik" -dalam pengertian, suatu teks bisa menunjuk kepada suatu makna dan pengertian tertentu dari dalam dirinya sendiri.

Ini hanyalah salah satu cara untuk meng-interpretasi teks klasik dari al-Syirazi. Tentu interpretasi ini terbuka pada kritik. Saya melihat, debat soal teori perintah dalam karya klasik ushul fiqh ini sangat membantu untuk memperkaya debat-debat Islam di era modern sekarang yang dalam beberapa hal mengulang tema lama, tetapi kadang dengan argumentasi yang kurang kreatif.

Karya al-Syirazi ini menantang sarjana Muslim modern, antara lain untuk melihat bagaimana tradisi "disputatio" atau debat dialektis berlangsung dan dipraktekkan di masa klasik Islam. Al-Syirazi sendiri adalah seorang "dialectician" atau pelaku debat yang handal. Dia menulis semacam manual bagaimana seorang harus berdebat dalam lingkungan fikih. Untuk tujuan ini, dia menulis buku al-Ma'unah fi al-Jadal (Panduan untuk Berdebat).

Banyak karya yang ditulis oleh sarjana Islam klasik mengenai etika berdebat (adab al-munazarah) ini. Salah satu karya yang terkenal dalam bidang ini adalah kitab karangan seorang sarjana fikih dari lingkungan mazhab Hanbali, Ibn 'Aqil al-Hanbali, "Kitab al-Jadal 'Ala Tariqat al-Fukaha." Sayang sekali, karya-karya ini, setahu saya, sudah tak pernah lagi dibaca di pesantren atau lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
Semoga catatan sederhana tentang karya al-Syirazi ini berguna.
Pembaca: Ulil Abshar-Abdalla, Alumnus Pesantren Mansajul 'Ulum, Pati, Jawa Tengah, sedang menempuh program doktoral di Universitas Boston, Massachussetts, USA.
(posted from www.nu-usacanada.org)

Tentang Kitab

mengenal alloh dengan filsafat






Image
Qisshah Al Iman Bain Al Falsafah Wa Al 'Ilm Wa Al Qur’an

Sampai sekarang masih banyak orang Islam dan para ulama konservatif yang menolak keberadaan filsafat, terutama filsafat cabang metafisika sebagai jalan untuk mengenal Allah. Mereka menganggap bahwa filsafat dapat menyesatkan dan tidak diperlukan bahkan ada pula yang mengharamkan mempelajari filsafat metafisika karena ia dapat menjerumuskan seseorang menuju kekafiran.

Asumsi di atas menjadi semakin menemukan justifikasinya manakala mereka mendengar banyak atau ada beberapa mahasiswa IAIN atau UIN jurusan akidah filsafat yang tidak lagi mau mengerjakan shalat lima waktu karena menganggap shalat tidak diperlukan lagi dan Tuhan tidak perlu disembah. Bahkan ada pula yang mulai ragu apakah tuhan benar-benar ada ataukah ia hanya hasil rekayasa atau ciptaan manusia.

Kitab yang ditulis oleh Syaikh Nadim al Jisr, mantan Mufti Tarabuls, Lebanon Selatan ini agaknya ditujukan untuk menghilangkan asumsi bahwa filsafat metafisika bertentangan dengan agama dan bisa menyebabkan kekufuran. Ia ingin menunjukan bahwa filsafat sebenarnya dapat menuntun seseorang untuk mengenal Allah dengan keyakinan yang mantap asalkan filsafat itu dikaji dengan mendalam dengan ungkapan yang jelas ia mengatakan bahwa filsafat itu lautan yang tidak sama dengan lautan yang lain. Seseorang akan menemukan bahaya dan tersesat apabila ia dipinggirnya. Keamanan dan pencapaian iman justru terdapat ditengah kedalaman filsafat itu.

Untuk membuktikan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama atau al Qur’an maka Syaikh Nadim mengajukan karyanya ini secara sistematis dan menguraikan persoalan-persoalan filsafat metafisika secara runtut dan mendalam. Ia menguraikan pemikiran filsafat metafisika mengenai asal usul penciptaan yang dimulai dari pemkiran para filosof Yunani kuno hingga filosof Muslim dan dilanjutkan dengan pemikiran para filosof modern. Dengan tekun dan sabar, ia menyajikan semua pendapat di atas secara urut kronologis-historis, di mana pembaca karya ini akan menarik suatu kesimpulan yang tak terbantahkan bahwa filsafat, khususnya metafisika tidak bertentangan dengan agama atau al Qur’an.

Kitab ini dimulai dengan mengambil setting cerita tentang seorang pemuda yang bernama Hairan Bin Al Adh’af Al Punjabi, seorang mahasiswa Universitas Pesawar. Ia seorang pemuda yang sangat haus tentang ilmu pengetahuan dan berfikir seperti cara berfikir filsafat yang selalu ingin mengkaji asal usul dan hakikah segala sesuatu mengapa ia ada, dan apa hikmah serta penciptaanya. Hairan selalu bertanya kepada gurunya juga teman-temannya tentang alam semesta, ia bertanya kenapa alam ini diciptakan, kapan diciptakan, dari apa, siapa yang menciptakan, dan bagaimana ia menciptakannya. Pertanyaan–pertanyaan filosofis di atas membuat ia diejek dan dicemooh teman–temanya. Sebagaian dosennya pun mengatakan bahwa ia bukanlah orang yang sedang menuntut ilmu agama melainkan orang yang sok berfilsafat.

Semua ejekan dan bentakan tidak membuatnya patah semangat mempelajari filsafat akan tetapi justru menguatkan keyakinannya bahwa hakikat yang ia lihat hanya dapat diketahui dengan filsafat. Oleh karena itu iapun tenggelam dalam mempelajari buku-buku filsafat. Meski demikian pihak Universitas telah menganggap fenomena Hairan ini sebagai penyakit akut yang harus diamputasi sebelum menyebar dan menjalar kepada mahasiswa yang lain. Oleh karena itu pihak universitaspun memecatnya dan ia dikeluarkan dari kampus.

Berita pemecatan Hairan bagaikan petir yang menggelegar bagi sang ayah. Sang ayah kemudian menasehatinya agar meninggalkan filsafat dan menekuni ilmu agama terlebih dahulu. Sang ayah kemudian menunjukan gurunya yang bernama Abu An Nur Al Mauzun jika ia ingin mempelajari hakikat filsafat. Tanpa berfikir panjang Hairan kemudian pergi ke Khartank, Samarkan, suatu desa kecil di mana Syaikh sedang menghabiskan usia tuanya untuk berkhalwat di masjid dan dekat dengan imam Bukhari. Akhirnya Hairan mendapat bimbingan dan petunjuk dari sang Guru dalam mempelajari filsafat. Untuk mengenal Allah ada tiga tahapan yang digunakan Syaikh Al Mauzun.

Pertama, pendekatan filsafat. Kedua, mengkaji hasil informasi sains dan ilmu pengetahuan. Ketiga, melalui al Qur’an. Terasa agak aneh memang kenapa pendekatan Al Qur’an justru pada tahapan terakhir bukan yang pertama seperti yang biasa dilakukan ulama-ulama tradisional yang lebih suka secara langsung menggunakan dalil-dalil al Qur’an atau Sunnah dalam mengajarkan tauhid. Metode yang digunakan Syaikh Al Mauzun ini agaknya sengaja digunakan sedemikian rupa untuk membuktikan bahwa untuk mengenal Tuhan, manusia dapat menggunakan akalnya tanpa harus terlebih dahulu dibimbing oleh wahyu. Untuk itu sang guru membawa Hairan menelaah dan menelusuri pandangan para filosof Yunani kuno mengenai wujud Allah dan asal usul penciptaan alam semesta.

Syaikh Al Mauzun menjelaskan bagiamana Thales mengatakan bahwa asal segala sesuatu adalah air. Bagi Thales dan semua filosof, dunia ini tidak mungkin diciptakan dari murni ketiadaan. Dan sudah pasti ada asal usulnya. Pada dasarnya permulaan segala sesuatu adalah perubahan. Karena itu harus ada materi azali yang menjadi asal usul segala sesuatu. Dan materi azali itu adalah air. Karena air bisa menerima perubahan. Air bisa beku dan bisa mencair, bisa menguap, dan kembali menjadi air. Dan air adalah syarat kehidupan. Lalu Aneximenes mengatakan asal usul penciptaan adalah udara, bukan air. Aneximender mengatakan asal usul segala sesuatu harus berasal dari sesuatu yang tidak berbentuk, tidak ada kesudahanya dan tidak terbatas. Air memiliki sifat-sifat tersendiri. Begitu pula udara. Dan semua yang ada juga memiliki sifat tersendiri juga. Oleh karena itu tidak mungkin semua benda yang memiliki keanekaragaman sifat berasal dari satu materi. Konsepsi Anaximender ini mirip konsep ‘laisa kamitslihi syai’un’. Hanya saja ia masih menyebut materi yang tidak terbatas dan berkesudahan dan Tuhan bukanlah materi. Asal usul segala sesuatu haruslah berupa bilangan dan kita menghitung angka satu demi satu maka asal usul segala sesuatu haruslah yang satu, kata Pitagoras (2830).

Demikianlah seterusnya pendapat Democritos, Aristoteles, Socrates, Plato, dan para filosof kuno dikaji satu demi satu. Agaknya Syaikh al Mauzun ingin menunjukan pada pembaca betapa pemikiran manusia tentang Tuhan sudah berkembang sejak zaman dahulu dan dengan akalnya pula manusia dapat menemukan adanya Tuhan yang menciptakan dan menjadi asal usul segala sesuatu. Setelah mempelari pemikiran filosof Yunani kuno, Syaikh Al Mauzun mengajak Hairan untuk menelaah pendapat para filosof Muslim seperti al Farabi, Ibnu Sina, dan Ar Razi tentang pembuktian adanya Allah sebagai pencipta alam semesta. Sang Syaikh juga menolak pendapat yang mengatakan bahwa para filosof muslim itu memiliki iman yang lemah. Justru menurutnya mereka adalah orang-orang yang memiliki akidah yang sangat kuat kepada Allah karena mereka menggabungkan iman kepada wahyu dengan penalaran akal sehat. Penggabungan ini bagaikan cahaya di atas cahaya. Tidak lupa sang Syaikh mengajak Hairan untuk membandingkan pendapat al Ghazali dengan Kant dan Descartes dan melihat adanya titik temu pendapat di antara mereka. Tidak ketinggalan pula bagaimana pendapat Ibnu Rush, Al Ma’ari dan Ibnu Khaldun dikaji secara mendalam. Ia juga menjelaskan mengapa ada orang seperti al Ghazali yang mengkafirkan filosof Muslim seperti Ibnu Sina dan Al Farabi. Menurutnya hal itu disebabkan adanya perbedaan konsepsi mengenai Qidam al Alam antara mereka. Setelah mempelajari filosof muslim mengenai pembuktian Allah maka Syaikh Al Mauzun mengajak Hairan mengkaji pendapat filosof modern seperti Thomas Aquinas, Bacon, Descartes, Pascal, Spinoza,

Lock, dan David Hume mengenai hakikat wujud. Banyak di antara mereka memiliki kesamaan pandangan dengan filosof muslim. Pascal, seperti halnya al Farabi dan Ibnu Sina mengatakan bahwa akal fitrah manusia dapat menemukan adanya Allah sebagai pencipta akan tetapi akal manusia tidak akan mampu memahami hakikat wujud penciptaan dan pencipta. Karena akal manusia terbatas untuk mencapainya (131).

Setelah mengkaji filsafat, Syaikh al Mauzun mengajak Hairan untuk memahami ilmu pengetahuan dan sain. Mereka mengkaji benda-benda langit laut, tumbuh –tumbuhan, hewan, bahkan manusia. Semuanya bertasbih kepada Allah. Semuanya itu terjadi bukan karena kebetulan. Menurut Syaikh Al Mauzun tidaklah dapat diterima oleh akal bahwa keberaturan, keseimbangan, ketelitian, serta keindahan yang ada dialam semesta ini terjadi dan tercipta secara kebetulan.

Setelah mengkaji sain dan ilmu pengetahuan, Syaikh Al Mauzun mengajak Hairan membaca Ayat-ayat Al Qur’an yang berkait dengan sain dan ilmu pengetahuan. Dan ia berpesan agar Hairan senantiasa membaca ayat-ayat itu sehingga apa yang tampak wujud dialam semesta ini akan senantiasa bisa dikaitkan dengan Al Qur’an. Membaca karya putra pengarang kitab al Hushun Al Hamidiyah ini memang sangat mengasyikkan dan membacanyapun perlu ketekunan, kesabaran, terutama bagi yang tidak terbiasa dengan persoalan –persoalan filsafat. Akan tetapi kontribusi terbesar dan sangat layak untuk diapresiasi adalah ia berhasil menunjukan bahwa antara filsafat khususnya filsafat metafisika, sains dan ilmu pengatahuan dan al Qur’an tidak ada pertentangan. Justru filsafat dapat menghantarkan seseorang untuk mengenal Allah dengan akidah yang kuat.

Kiranya karya ini layak untuk menjadi bacaan bagi kalangan pesantren yang selama ini terkesan tidak begitu akrab dengan filsafat terutama bagi mereka yang mengajar tauhid, tafsir Al Qur’an. Karya ini terasa semakin berbobot dengan banyaknya sambutan dan pujian dari berbagai kalangan mulai dari para ulama, bahkan para politisi dan pejabat di dunia Islam. (Samito, MSI, Guru Madrasah Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta)

Tentang Kitab: